Pendidikan Afrika: Kunci Mengatasi Krisis Belajar dengan Anak & Bahasa Lokal

Anak-anak Afrika belajar dengan gembira di kelas penuh warna, didampingi guru yang interaktif. Menunjukkan pembelajaran berbasis komunitas dan bahasa ibu yang inklusif.

Krisis belajar di Afrika seringkali hanya dilihat dari hasil tes siswa. Padahal, ada dimensi yang lebih luas dan penting untuk diperhatikan, yaitu pengalaman nyata anak-anak, peran aktif guru, serta kekayaan bahasa dan budaya lokal di dalam kelas. Jika kita hanya terpaku pada angka, kita bisa kehilangan makna sejati dari pembelajaran yang mendalam dan berkelanjutan.

Pendidikan yang baik seharusnya melibatkan interaksi, pembentukan makna, dan koneksi kuat dengan komunitas. Sayangnya, banyak anak di Sub-Sahara Afrika memulai sekolah dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Para guru pun seringkali terikat sistem kaku yang membatasi kreativitas. Komunitas hanya dianggap sebagai penerima manfaat, bukan mitra dalam mendidik. Akibatnya, anak-anak cenderung menghafal daripada memahami, dan guru menjadi pelaksana ketimbang inovator.

Lalu, bagaimana solusinya? Kita bisa mengambil inspirasi dari filosofi Ubuntu, sebuah pandangan Afrika tentang hubungan, kepedulian, dan tanggung jawab kolektif. Ubuntu mengajarkan bahwa pendidikan adalah hubungan saling menghargai antara guru dan murid, sekolah dan komunitas, serta bahasa lokal dan aspirasi nasional.

Mengubah Paradigma Pendidikan: Tiga Langkah Kunci

Untuk menciptakan pendidikan dasar yang lebih bermartabat, bermakna, dan memberdayakan, ada tiga pergeseran penting yang perlu kita lakukan:

  • Mengakui Potensi Anak: Jangan memandang anak-anak Afrika dari sisi kekurangan, melainkan hargai pengetahuan dan kemampuan mereka.
  • Menghargai Guru Lokal: Anggap pengalaman dan kemampuan multibahasa guru sebagai sumber inovasi yang berharga.
  • Melibatkan Komunitas dan Bahasa: Masukkan bahasa ibu dan pengetahuan lokal ke dalam kurikulum agar pembelajaran menjadi lebih mendalam.

Contoh Nyata: Program Belajar Cepat di Berbagai Negara

Konsep-konsep ini sudah terbukti berhasil melalui berbagai Program Belajar Cepat (Accelerated Learning Programs/ALPs) di Ethiopia, Ghana, dan Liberia. Program-program ini berhasil menjangkau ratusan ribu anak yang putus sekolah atau belum pernah sekolah. Kuncinya bukan pada model impor, melainkan pada pedagogi lokal yang berbasis hubungan—alias, Ubuntu dalam praktik.

Sekolah Cepat Ethiopia

Dimulai pada tahun 2011, Sekolah Cepat di Ethiopia memberikan kesempatan kedua bagi anak usia 9-14 tahun yang tertinggal. Program 10 bulan ini memadatkan kurikulum kelas 1-3 dan diajarkan dalam bahasa ibu anak-anak, sesuai kebijakan nasional. Hasilnya luar biasa: siswa mahir literasi dan numerasi, lalu bisa melanjutkan ke sekolah formal kelas 4. Kelompok swadaya ibu-ibu juga mendukung lewat pelatihan wirausaha, membantu keluarga agar anak-anak tetap bisa sekolah. Ini menunjukkan bagaimana instruksi bahasa ibu, keterlibatan komunitas, dan pemberdayaan ekonomi bisa mengembalikan harapan belajar bagi anak-anak yang terpinggirkan.

Program Pendidikan Dasar Pelengkap Ghana (CBE)

Sejak 2012, program CBE di Ghana telah menyediakan jalur pendidikan selama sembilan bulan bagi lebih dari 250.000 anak di Ghana utara. Kelas-kelas kecil (maksimal 25 siswa) diajarkan dalam 12 bahasa komunitas oleh fasilitator lokal, dengan jadwal sore hari agar sesuai dengan aktivitas pertanian. Tingkat kelulusan CBE sangat tinggi, mencapai lebih dari 95%, dengan partisipasi perempuan yang setara. Evaluasi menunjukkan peningkatan kuat dalam literasi bahasa lokal, bahasa Inggris, dan numerasi. Program ini berhasil menjadikan pendidikan dasar sebagai proyek komunitas bersama yang mengembalikan harga diri dan motivasi bagi siswa yang sebelumnya terpinggirkan.

Second Chance Liberia

Di Liberia, program Second Chance menerapkan model belajar cepat yang inklusif di daerah pasca-konflik. Kursus 10 bulan ini memadatkan kurikulum tiga tahun untuk anak usia 7-11 tahun yang belum pernah sekolah. Fasilitator komunitas terlatih menggunakan pengajaran berbasis fonik dan aktivitas di kelas kecil. Kelompok Keterlibatan Orang Tua juga membantu mengatasi hambatan kehadiran. Sebuah studi menemukan bahwa anak-anak membaca empat kali lebih cepat dan memecahkan soal matematika dua kali lebih banyak daripada teman sebaya di luar program. Selain peningkatan akademik, anak-anak juga merasa lebih percaya diri. Program ini membuktikan bahwa pembelajaran cepat berbasis bahasa ibu dan komunitas dapat mendorong inklusi dan pemulihan pendidikan.

Pelajaran Penting untuk Kebijakan Pendidikan

Dari ketiga program ini, tiga hal penting yang perlu ditekankan adalah:

  • Bahasa itu Penting: Anak-anak belajar paling baik dalam bahasa yang mereka pahami, yang membuka kepercayaan diri dan pemahaman mereka.
  • Hubungan itu Penting: Guru yang didukung dapat membuat pembelajaran lebih manusiawi melalui pedagogi responsif.
  • Komunitas itu Penting: Ketika sekolah menghargai pengetahuan lokal, pendidikan akan mendapatkan makna dan legitimasi.

Pelajaran-pelajaran ini selaras dengan temuan laporan terbaru yang menunjukkan bahwa kemajuan berkelanjutan dalam pendidikan tidak hanya tergantung pada apa yang diajarkan, tetapi juga bagaimana dan dalam bahasa apa itu diajarkan. Oleh karena itu, kebijakan harus berfokus pada pengajaran dalam bahasa ibu untuk jangka waktu yang lebih lama dan pelatihan guru yang sesuai, sambil memetakan profil bahasa komunitas dan mengembangkan materi kurikulum serta penilaian dalam bahasa lokal yang tepat.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org