Biaya Penitipan Anak Mahal? Ini Krisis dan Solusinya untuk Keluarga
Halo para orang tua dan pendidik! Pernahkah kamu merasa pusing tujuh keliling saat menghitung biaya kebutuhan rumah tangga, lalu tiba-tiba sadar kalau biaya penitipan anak ternyata bisa lebih mahal dari sewa rumah? Yap, ini bukan cerita fiksi, lho. Di banyak kota besar, krisis biaya penitipan anak ini memang nyata dan bikin banyak keluarga harus putar otak, bahkan sampai ada yang terpaksa memilih antara salah satu orang tua berhenti bekerja demi menghemat pengeluaran.
Fenomena ini sangat terasa khususnya bagi keluarga yang kondisi keuangannya pas-pasan. Bayangkan, jika biaya untuk satu anak saja sudah mendekati harga sewa, bagaimana jika ada dua anak? Data menunjukkan bahwa biaya pengasuhan dua anak bisa melampaui dua kali lipat rata-rata sewa apartemen dua kamar! Angka ini terus naik, dengan rata-rata biaya satu anak saja sudah mencapai Rp13,1 juta per tahun di tahun 2024, naik sekitar Rp3,7 juta sejak 2017. Ini adalah sebuah beban finansial yang tidak bisa dianggap remeh, dan seringkali memaksa keluarga untuk hidup serba kekurangan.
Anehnya, meskipun biaya yang dibayarkan orang tua tinggi, para pekerja penitipan anak justru tidak merasakan dampak positifnya di gaji mereka. Banyak dari mereka yang masih digaji rendah, bahkan di bawah standar gaji ritel, meski pekerjaan mereka sangat penting dalam pendidikan anak usia dini. Lembaga penitipan anak sendiri juga terjepit. Mereka ingin menjaga biaya agar terjangkau oleh keluarga, namun di sisi lain harus menaikkan gaji staf dan menghadapi inflasi yang membuat biaya operasional, mulai dari makanan hingga asuransi, terus melambung. Ini ibarat maju kena, mundur kena.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya dukungan dari pemerintah daerah. Banyak sistem penitipan anak yang masih kekurangan dana, bahkan saat negara memiliki surplus anggaran. Proses pencairan subsidi yang lambat juga seringkali membuat penyedia layanan harus menalangi biaya operasional sendiri, memastikan anak-anak tetap mendapatkan nutrisi dan fasilitas terbaik, meskipun mereka belum dibayar. Jadi, tidak heran kalau banyak penyedia jasa penitipan anak yang harus mencari penghasilan tambahan atau mengandalkan bantuan hibah agar pusatnya tetap beroperasi.
Selain masalah finansial dan sistem, ada juga faktor pandangan atau "attitude" yang masih perlu diubah. Beberapa pihak masih memandang penitipan anak sebagai tanggung jawab pribadi orang tua semata, bahkan secara spesifik hanya ibu. Padahal, pandemi COVID-19 sudah membuktikan bahwa penitipan anak adalah infrastruktur kritis yang vital. Tanpa layanan ini, banyak orang tua tidak bisa bekerja, roda ekonomi pun melambat. Mengakui peran para pengasuh sebagai pendidik, bukan sekadar "baby-sitter", serta memberikan dukungan yang layak kepada mereka, adalah langkah awal untuk mengatasi krisis ini. Mari kita bersama-sama memperjuangkan solusi yang lebih baik untuk masa depan anak-anak dan dukungan keluarga yang lebih kuat.