Emosi Online: Bahaya 'McVulnerability' bagi Remaja di Medsos
Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. Mereka aktif menjelajahi TikTok, berbagi momen di Instagram, dan mengikuti berbagai tren viral. Namun, di balik semua interaksi itu, muncul sebuah fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan yang disebut "McVulnerability". Istilah ini, yang diciptakan oleh psikolog Maytal Eyal, menggambarkan kerentanan emosional yang terasa instan, mudah didapat, dan nyaman seperti makanan cepat saji, tetapi pada akhirnya tidak selalu baik untuk kesehatan mental dan perkembangan sosial kita.
Bayangkan saja, seperti J’Nyah, seorang remaja SMA, yang kerap melihat permintaan maaf dari para influencer yang terasa tidak tulus dan terkesan sudah diatur. Konten semacam ini, meski terlihat seperti pengungkapan emosi, seringkali adalah hasil kurasi yang cermat, bahkan mungkin melibatkan konsultan citra. Hal ini memicu pertanyaan penting: apakah semua "emosi online" ini justru mengurangi makna dari hubungan dan kerentanan sejati yang esensial dalam kehidupan nyata?
Mengenal "McVulnerability" dan Dampaknya pada Hubungan
"McVulnerability" adalah bentuk kerentanan sintetik dan performatif yang mudah diakses di media sosial. Sifatnya yang nyaman dan cepat saji membuatnya sangat menarik, terutama di tengah meningkatnya tingkat kesepian. Namun, menurut Eyal, kerentanan semacam ini menghalangi kita untuk merasakan kerentanan sejati yang tidak nyaman, tetapi justru krusial untuk membangun hubungan intim dan mendalam. Media sosial telah menyediakan jalan keluar yang memungkinkan orang menghindari pengalaman kerentanan tatap muka, yang padahal penting untuk mengembangkan keterampilan sosial yang baik.
Remaja khususnya, sedang dalam masa kritis perkembangan keterampilan sosial dan identitas. Ketika mereka menghabiskan semakin banyak waktu di dunia maya, interaksi sosial tatap muka pun menurun drastis. Akibatnya, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk melatih kerentanan dan empati dalam konteks hubungan nyata, yang esensial untuk membekali mereka menghadapi hubungan di masa dewasa.
Peran Otak Remaja dan Pentingnya Berpikir Transenden
Neuroilmuwan Mary Helen Immordino-Yang menjelaskan bahwa remaja mengalami perubahan neurologis yang besar, membuat mereka sangat sensitif terhadap lingkungan sosial. Saat merasa tidak aman, sangat sulit bagi mereka untuk menjadi rentan. Paparan terus-menerus terhadap "McVulnerability" dapat membentuk cara berpikir mereka, bahkan di luar lingkungan online. Jika pola pikir yang dangkal terus dilatih, hal itu akan memengaruhi kemampuan mereka memahami ide-ide kompleks di sekolah maupun kehidupan.
Immordino-Yang memperkenalkan konsep "berpikir transenden", yaitu kemampuan untuk berpikir secara mendalam tentang nilai, niat, dan implikasi dari ide-ide kompleks. Remaja sebenarnya ingin mencapai tingkat pemikiran ini, tetapi membutuhkan lingkungan yang aman dan waktu yang cukup untuk melatihnya. Dengan menciptakan ruang kelas yang tenang dan mendukung eksplorasi ide-ide besar, guru dapat membantu remaja mengembangkan kerentanan dan pemikiran yang lebih kompleks, yang secara harfiah dapat mengembangkan otak mereka.
Mengatasi "McVulnerability": Langkah Nyata untuk Remaja dan Lingkungan Sekitarnya
Untuk menghadapi tantangan ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Remaja perlu diajak untuk mencari "ketidaknyamanan sehat" di luar perangkat digital. Ini bisa berarti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, menjadi sukarelawan, atau aktivitas lain yang mendorong interaksi sosial nyata dan pengalaman baru. J’Nyah sendiri merasakan manfaat dari jeda media sosial dan aktivitas di luar rumah untuk "mengatur ulang otaknya".
Bagi orang tua, penting untuk tidak melarang, tetapi mendampingi. Ajaklah diskusi terbuka tentang konten yang dilihat remaja di media sosial. Ajukan pertanyaan seperti: "Menurutmu mengapa orang ini bertindak seperti itu?" atau "Apa motivasinya mengunggah konten ini?". Diskusi semacam ini membantu remaja mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan memahami gambaran besar di balik setiap unggahan, tanpa harus selalu setuju dengan pandangan orang tua.
Di sekolah, guru dapat berperan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung, di mana siswa merasa nyaman untuk bertanya, berdiskusi, dan mengeksplorasi ide-ide yang mendalam. Dengan memberikan kesempatan untuk berpikir transenden, remaja dapat mengembangkan empati, kerentanan, dan keterampilan sosial yang sangat mereka butuhkan di dunia yang semakin kompleks ini.