Membongkar Mitos 'Buku Sesuai Level': Panduan Membaca Efektif

Gambar seorang anak membaca buku dengan serius, mencerminkan fokus pada membaca teks menantang dengan bimbingan. Anak itu duduk di meja, dikelilingi oleh buku-buku, dengan latar belakang suasana belajar yang kondusif. Ini menggambarkan esensi artikel tentang perlunya keluar dari zona nyaman 'buku sesuai level'.

Pernah dengar tentang buku-buku yang "pas di level" kemampuan membaca anak? Konsep ini, di mana siswa membaca materi sesuai tingkat kemahirannya, sudah mendarah daging di banyak sekolah Amerika. Tapi, seorang ahli membaca terkemuka, Timothy Shanahan, punya pandangan yang mengejutkan. Profesor emeritus dari University of Illinois di Chicago ini berpendapat bahwa praktik ini, alih-alih membantu, justru menghambat kemajuan membaca anak-anak!

Dalam bukunya yang baru, "Leveled Reading, Leveled Lives", Shanahan mengkritik keras pendekatan "buku sesuai level". Menurutnya, para guru malah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menguji dan memilih buku berdasarkan level, bukannya fokus membantu semua siswa memahami teks yang lebih menantang. Ini bagaikan terjebak dalam lingkaran setan: kita terus memberi buku yang sudah mudah dibaca, padahal membaca itu seharusnya tentang menghadapi tantangan dan menaklukkannya.

Shanahan yakin bahwa pemahaman membaca tidak akan tumbuh dengan cara ini. Ia mengusulkan "diferensiasi instruksional". Artinya, semua siswa, baik yang jago maupun yang masih kesulitan, seharusnya membaca teks yang sama sesuai tingkatan kelas. Bedanya, guru akan memberikan dukungan ekstra bagi mereka yang membutuhkan. Misalnya, setelah pelajaran kelas secara keseluruhan, sebagian anak bisa langsung mengerjakan tugas mandiri, sementara yang lain mendapatkan bimbingan lebih intensif, mungkin dengan membaca ulang teks bersama guru. Dengan begitu, lebih banyak siswa akan mencapai tujuan pembelajaran yang sama.

Jangan khawatir, ini bukan berarti anak-anak dibiarkan 'nyemplung' ke dalam teks sulit tanpa bantuan. Shanahan menawarkan berbagai strategi untuk menghadapi teks menantang. Kamu bisa ajarkan anak untuk mencari arti kosakata yang tidak dikenal, membaca ulang bagian yang membingungkan, atau memecah kalimat panjang agar lebih mudah dipahami. Intinya, ada banyak cara untuk berhasil dalam membaca!

Shanahan juga mengklarifikasi salah paham tentang teori "zona perkembangan proksimal" dari psikolog Rusia Lev Vygotsky. Banyak yang menggunakan teori ini untuk membenarkan buku "pas di level", tapi Vygotsky sebenarnya percaya guru harus membimbing siswa untuk belajar hal-hal menantang yang belum bisa mereka lakukan sendiri. Ini mirip seperti ibu mengajari anaknya mengikat tali sepatu: dimulai dengan bimbingan penuh, lalu bertahap sang anak melakukannya sendiri. Bukan dengan memberikan sepatu yang sudah ada rekatannya (Velcro)!

Lalu, bagaimana dengan peran orang tua? Shanahan mendorong para orang tua untuk membiarkan anak membaca apa pun yang mereka sukai, entah itu di atas atau di bawah level mereka. Yang penting, tetapkan ekspektasi yang konsisten. Alih-alih mengeluh, cobalah pendekatan spesifik: "Setelah makan malam, coba baca bab pertama ini ya. Kalau sudah selesai, nanti kita bahas, baru deh boleh main game." Intinya, sebagai orang dewasa, kita bertanggung jawab untuk membimbing mereka.

Meskipun AI kini bisa mengubah tingkat kesulitan teks, Shanahan skeptis. Teks yang disederhanakan, baik oleh manusia atau AI, tidak serta merta meningkatkan kemampuan membaca. Namun, ia tertarik pada potensi AI untuk memodifikasi satu teks ke berbagai level secara cepat, memungkinkan siswa membacanya berurutan untuk melihat apakah ini meningkatkan pemahaman.

Jadi, intinya, strategi membaca "buku yang pas di level" mungkin perlu ditinjau ulang. Memberikan tantangan yang sesuai dengan dukungan yang tepat bisa jadi kunci untuk benar-benar meningkatkan kemampuan membaca anak-anak kita.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org