Pemimpin Kampus: Menjaga Merit Ilmiah di Tengah Ideologi?
Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana kadang ada momen di mana para pemimpin kampus tiba-tiba bersuara lantang soal prinsip yang penting? Belakangan ini, banyak pimpinan universitas menolak 'Higher Education Compact' dari pemerintahan tertentu, dengan alasan tegas: pendanaan ilmiah harus berdasarkan merit (prestasi) ilmiah saja. Kedengarannya bagus, kan? Tapi, mari kita coba selami lebih dalam, apakah ini konsistensi atau hanya kenyamanan politis?
Menariknya, sikap tegas ini terasa sedikit terlambat jika kita melihat ke belakang. Beberapa tahun lalu, ketika ada kebijakan yang mewajibkan pendanaan ilmiah mempertimbangkan aspek 'Diversity, Equity, Inclusion, dan Accessibility' (DEI) – atau sering kita sebut keberagaman, kesetaraan, inklusi, dan aksesibilitas – para pemimpin kampus ini justru cenderung diam. Padahal, saat itu, lembaga-lembaga riset seperti NIH, NASA, dan NSF mulai menerapkan aturan di mana proposal riset dinilai juga dari rencana DEI mereka, bahkan ada yang menyarankan peneliti "kurang terwakili" untuk mencantumkan ras mereka agar mendapat pertimbangan lebih, meskipun skor kualitasnya mungkin di luar batas standar.
Fenomena ini bukan hal baru. Ada beberapa kejadian di mana prinsip merit ilmiah atau kebebasan akademik seolah dikesampingkan. Misalnya, ada seorang ilmuwan yang batal diundang untuk memberikan kuliah bergengsi karena pandangannya tentang DEI dianggap kontroversial. Di kampus lain, seorang dosen dipaksa mundur hanya karena menyatakan ada dua jenis kelamin berdasarkan biologi, yang kemudian dianggap "transphobic" di tengah hiruk-pikuk isu DEI. Bahkan, ada pemimpin kampus yang justru menghukum seorang profesor karena berani mengkritik tuntutan ideologis tertentu. Semua ini menunjukkan adanya inkonsistensi dalam menjaga prinsip-prinsip akademik.
Bahkan, organisasi sekelas American Association of University Professors (AAUP) pun menunjukkan dilema ini. Mereka pernah menerbitkan artikel yang menyatakan bahwa "keberagaman sudut pandang" (viewpoint diversity) justru bertentangan dengan pencarian kebenaran di akademi. Padahal, di sisi lain, AAUP juga pernah berargumen bahwa keberagaman rasial sangat penting untuk produksi pengetahuan yang lebih baik. Agak aneh, bukan? Jika keberagaman rasial bisa memperkaya diskusi dan menyingkap "titik buta", mengapa keberagaman ideologis dan intelektual justru dianggap merusak?
Studi terbaru juga mendukung pengamatan ini. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa di banyak silabus mata kuliah, khususnya yang membahas kontroversi sosial, jarang sekali menyertakan teks-teks dengan perspektif yang berlawanan. Ini mengindikasikan bahwa mahasiswa seringkali tidak terpapar pada perdebatan intelektual yang lebih luas, dan kurikulum bisa jadi cenderung memihak pada agenda tertentu.
Padahal, esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menjadi tempat eksplorasi, menantang kebijaksanaan yang ada, dan memungkinkan mahasiswa bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak nyaman. Kebebasan berpikir tanpa batas, hak untuk mendiskusikan hal-hal yang tidak biasa, dan menantang status quo adalah fondasi penting. Jika para pemimpin kampus hanya bersuara lantang saat ada keuntungan politis, maka kepercayaan terhadap integritas akademik akan sulit dibangun kembali. Konsistensi dalam memegang prinsip, bukan hanya saat menguntungkan, adalah kunci untuk mengembalikan martabat pendidikan tinggi.