Pelajaran Penting: Ketika Pemerintah Tutup & Siswa Gagal ke Washington D.C.
Halo para pendidik dan juga kalian yang peduli dengan masa depan bangsa! Sebagai seseorang yang punya banyak pengalaman di militer dan dunia pendidikan, saya yakin banget kalau kepemimpinan yang melayani (servant leadership) dan diplomasi itu penting banget diajarkan. Makanya, saya semangat banget mau ajak 32 siswa SMA dari Texas untuk jalan-jalan ke Washington D.C. selama seminggu. Tujuannya bukan cuma liburan, tapi supaya mereka bisa berinteraksi langsung dengan para pemimpin pemerintahan dan tokoh internasional.
Tapi, apa daya, pintu pemerintahan malah tutup karena ada 'government shutdown'. Otomatis, rencana keren kami pun harus dibatalkan. Sedih, ya? Padahal, penutupan ini dampaknya luas banget, lho. Bukan cuma ke pegawai pemerintah atau militer di luar negeri, tapi juga ke kita semua yang bergantung pada layanan publik, mulai dari bisnis, sekolah, sampai perjalanan udara dan pos.
Bayangkan, padahal perjalanan ini bukan sekadar tur biasa. Ini adalah pengalaman puncak yang sudah lama dinanti, di mana siswa kami berkesempatan ngobrol intensif dengan pemimpin di Naval Academy dan Pentagon, diskusi di Departemen Luar Negeri, bahkan panel kepemimpinan bareng senator dan anggota kongres. Mereka juga pengen banget eksplorasi karir dan latihan bahasa Spanyol atau Mandarin di kedutaan Meksiko dan Tiongkok. Semua kesempatan emas ini lenyap begitu saja.
Alhasil, siswa-siswa kami tidak cuma kehilangan kesempatan berharga itu, tapi mereka justru dapat pelajaran yang lebih pahit: apa akibatnya kalau kepemimpinan dan diplomasi itu gagal. Ini jadi pengingat telak bahwa kita harus banget mengajarkan skill-skill ini, beserta prinsip-prinsip dasarnya, di sekolah.
Para petinggi militer tahu betul kerangka DIME (Diplomatik, Informasi, Militer, Ekonomi) itu penting buat tujuan strategis, apalagi di kancah internasional. Pengalaman saya di Korps Marinir mengajarkan betapa krusialnya kejujuran dan kepercayaan dalam negosiasi. Dalam kehidupan bernegara, pendekatan ini menjaga demokrasi kita. Tapi, penutupan pemerintah kemarin menunjukkan apa yang terjadi kalau misinya malah bergeser dari cari solusi jadi cari poin kemenangan.
Demokrasi itu berjalan baik kalau para pemimpin bisa berbeda pendapat tanpa harus putus hubungan; mereka bisa berdebat, berkompromi, dan tetap menjaga komunikasi. Kalau pemimpin masa depan kita enggak terbiasa melatih skill-skill ini, penutupan pemerintah bisa jadi kebiasaan, bukan lagi pengecualian. Itulah kenapa di sekolah kami, mulai dari TK, setiap siswa diajarin bahasa Inggris, Spanyol, dan Mandarin. Komunikasi itu kunci, apalagi lintas bahasa.
Kami juga tanamkan kebiasaan baik setiap hari. Lorong sepi itu mengajarkan rasa hormat, pelajaran bahasa membangun empati, dan wajib layanan masyarakat (60 jam per siswa SMA) serta kursus kepemimpinan memberi kesempatan melatih tujuan di atas keistimewaan. Kita sebagai pendidik punya tanggung jawab besar menyiapkan generasi muda menghadapi tantangan, baik di dalam negeri maupun di panggung dunia. Tapi, sekolah enggak bisa sendirian. Siswa-siswa kita semua melihat apa yang terjadi. Jadi, tugas kita adalah menunjukkan jalan yang lebih baik kepada mereka.