Mengungkap Dampak Politik Identitas di Industri Penerbitan Buku
Halo para pecinta buku dan dunia literasi! Pernahkah kamu membayangkan bagaimana dinamika identitas dan pandangan sosial memengaruhi buku-buku yang kita baca? Nah, yuk kita intip lebih dalam melalui karya Adam Szetela dalam bukunya yang berjudul That Book Is Dangerous!, yang mengupas tuntas perubahan besar di industri penerbitan buku, terutama sastra remaja.
Sekitar satu dekade yang lalu, banyak pihak berharap bahwa pergeseran budaya, kemunculan gerakan-gerakan sosial, akan membawa era baru yang lebih tercerahkan. Namun, realitanya justru memicu perdebatan sengit tentang kode etik berbicara, perang budaya, dan bahkan kebangkitan kembali nasionalisme etnis. Ini semua membuat kita bertanya-tanya, mengapa semua ini bisa terjadi? Szetela berpendapat bahwa salah satu alasannya adalah cara para “penyensor” dan “pengkritik” membentuk pandangan kita tentang identitas.
Pergeseran Nilai dan Tantangan Klasik
Buku Szetela punya kontribusi besar karena ia melakukan wawancara mendalam dengan berbagai pihak di industri penerbitan, mulai dari agen, editor, penulis, eksekutif penerbitan, pustakawan, hingga pembaca sensitivitas. Hasilnya, terungkaplah bagaimana kelompok-kelompok yang fokus pada esensialisme ras dan pihak-pihak yang mencari keuntungan memanfaatkan industri penerbitan, khususnya di genre sastra dewasa muda.
Ada kampanye media sosial seperti Own Voices dan #DisruptTexts yang berhasil “mengintimidasi” penerbit dan penulis. Misalnya, #DisruptTexts ingin menyingkirkan karya-karya klasik seperti Shakespeare atau The Great Gatsby dengan alasan “melanggengkan mitos meritokrasi.” Padahal, banyak yang meragukan itu adalah inti pesan dari buku tersebut. Tekanan semacam ini seringkali dilakukan atas nama “keadilan” dan “keamanan” bagi pembaca.
Peran Ganda Pembaca Sensitivitas
Fenomena lain yang disorot adalah maraknya “pembaca sensitivitas” yang disewa oleh penulis, agen, atau penerbit untuk meninjau naskah demi memastikan “keaslian” cerita. Szetela menunjukkan bahwa keahlian mereka seringkali tidak didasarkan pada pengetahuan atau keterampilan, melainkan pada identitas pribadi mereka (misalnya, menjadi kulit hitam atau trans). Pembaca ini seolah berbicara atas nama seluruh kelompok manusia, dan menariknya, mereka bisa mendapatkan penghasilan fantastis, lho!
- Misalnya, ada yang mengklaim bahwa orang kulit hitam tidak pergi ke taman nasional “sebagai suatu kelompok.”
- Ada pula pembaca sensitivitas yang bisa membedakan apakah karakter “terasa seperti orang kulit putih, padahal penulisnya menggambarkannya berkulit cokelat.”
Klaim-klaim seperti ini, yang dulu dianggap stereotip rasial, kini justru dianggap sebagai pemikiran “tercerahkan” dalam dunia penerbitan modern. Banyak sumber Szetela menyadari masalah ini, tetapi mereka takut untuk menyuarakan kritik karena khawatir akan dampak negatifnya.
Bagaimana Media Sosial Membentuk Opini?
Di era modern, media sosial dan “penjaga gerbang” digital memegang peranan sangat besar dalam mendukung atau menolak suatu buku. Karena banyak pemimpin dan pengikut kampanye media sosial ini menolak membaca karya yang “bermasalah,” beberapa twit pedas atau ulasan bintang satu saja bisa memicu “spiral kematian” bagi suatu teks atau penulis. Szetela bahkan melakukan studi di Cornell yang menunjukkan bahwa ketika pembaca diminta mencari “seksisme, rasisme, atau homofobia” dalam sebuah puisi, mereka sepuluh kali lebih mungkin menemukannya.
Jadi, ketika orang-orang diberitahu untuk mencari bukti “pemikiran yang salah” dan diberi tahu bahwa kegagalan menemukannya bisa menunjukkan bias mereka sendiri, mereka pun akhirnya “belajar” untuk melihatnya di mana-mana. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana kita harus melangkah ke depan dalam dunia penerbitan dan literasi yang terus berubah ini, di tengah tekanan politik identitas dan potensi sensor.