Pendidikan Tinggi: Bagaimana Jika Ideologi Konservatif Berkuasa?
Pernah kepikiran tidak, bagaimana ya rasanya kalau pemikiran dan ideologi konservatif justru yang mendominasi dunia pendidikan tinggi kita? Nah, mari kita coba berimajinasi sejenak. Bayangkan kalau hampir semua rektor, dekan, kepala departemen, editor jurnal ilmiah, reviewer naskah, sampai penilai proposal hibah itu semua berpandangan konservatif.
Dalam skenario hipotetis ini, pasti para akademisi yang berpandangan progresif akan merasa bahwa politik dan ideologi sangat memengaruhi pekerjaan akademik. Mereka mungkin akan berargumen bahwa bias konservatif tidak perlu terlihat jelas atau disengaja untuk memengaruhi hasil. Konsep-konsep seperti bias implisit atau diskriminasi yang tertanam dalam struktur institusi bisa jadi sering disebut-sebut. Meskipun para pemegang kekuasaan merasa sudah bertindak adil dan berdasarkan merit, kelompok minoritas progresif ini mungkin akan tetap skeptis, terutama jika pengalaman mereka menunjukkan bahwa kampus semakin mencerminkan prioritas konservatif.
Refleksi ini seharusnya membuat kita, terutama yang berpandangan mayoritas progresif di dunia nyata, untuk lebih serius memikirkan kekhawatiran para akademisi konservatif. Faktanya, data menunjukkan bahwa dominasi pandangan progresif di perguruan tinggi cukup signifikan. Misalnya, survei fakultas UCLA tahun 2022–23 mengungkapkan bahwa 56 persen mengidentifikasi diri sebagai liberal atau sangat kiri, dan hanya 13 persen sebagai konservatif atau sangat kanan. Disparitas ini juga terlihat dari sumbangan politik para staf pengajar.
Para akademisi progresif seringkali menggunakan konsep bias implisit dan dampak disparitas untuk menjelaskan ketidakadilan, tapi jarang sekali konsep ini diterapkan untuk menganalisis dominasi ideologi mereka sendiri. Jika individu secara alami cenderung menyukai orang-orang yang mirip dengan mereka, ide-ide yang mereka hargai, dan metode penelitian yang mereka anggap berguna, maka bukan tidak mungkin akan muncul "groupthink" yang memengaruhi penilaian terhadap beasiswa, dana penelitian, publikasi, dan penghargaan akademik.
Masalah yang lebih halus dari dominasi ideologi ini adalah kemungkinan munculnya "defisit" atau "ketiadaan" dalam pengajaran dan penelitian. Sulit lho mendeteksi ketiadaan. Kampus mungkin dipenuhi program yang fokus pada prioritas progresif, tapi masalah yang lebih besar bisa jadi adalah hilangnya pengetahuan atau perspektif yang dianggap tidak modis, tidak relevan secara politik, atau tidak sejalan dengan pandangan tertentu. Ini tentu jadi tantangan besar untuk memastikan kebebasan akademik yang sesungguhnya.
Lantas, bagaimana caranya agar pendidikan tinggi bisa lebih berimbang? Perubahan besar tentu butuh waktu dan komitmen. Kita bisa mulai dengan fokus pada proses perekrutan dosen. Daripada menggunakan kuota ideologis yang malah kontroversial, lebih baik kita mengkalibrasi ulang tujuan universitas. Pastikan pengajaran dan penelitian di setiap departemen mencakup spektrum ide dan pengalaman manusia yang luas.
Pimpinan universitas, seperti rektor dan dekan, bisa melakukan evaluasi rutin terhadap pengajaran, publikasi, dan kegiatan layanan dosen. Dengan begitu, kita bisa mengidentifikasi area mana yang kurang beragam dan memperbaikinya melalui perekrutan di masa depan. Pendekatan ini akan secara alami menarik lebih banyak cendekiawan konservatif dan libertarian, karena mereka cenderung tertarik pada topik-topik yang selama ini mungkin terpinggirkan, terutama di bidang humaniora dan ilmu sosial.
Membangun fakultas yang beragam secara intelektual memang butuh waktu, perhatian, dan sumber daya. Namun, dengan upaya ini, pendidikan tinggi bisa menjadi lebih jujur pada nilai-nilainya sendiri. Penelitian dosen akan lebih mampu menyelidiki seluruh spektrum topik dan pertanyaan ilmiah, dan pengajaran dosen akan lebih baik mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi beragamnya pasar ide di dunia nyata.