Optimis Raih Impian: Mengajarkan Harapan Melawan Sinisme di Kelas

Siswa-siswi ceria berdiskusi dengan guru, menunjukkan semangat kolaborasi dan optimisme dalam meraih tujuan bersama di lingkungan sekolah yang inspiratif.

Kita semua tahu, sinisme itu seperti virus yang gampang banget menyebar, apalagi di kalangan generasi muda sekarang. Bayangkan saja, adik-adik kita di sekolah harus menghadapi berbagai krisis, mulai dari kesehatan mental, fisik, isu sosial, sampai krisis iklim. Wajar kalau di tengah situasi seperti itu, rasa sinis jadi mudah menghampiri. Bahkan, menurut seorang profesor psikologi dari Stanford University, Jamil Zaki, generasi Z ini adalah generasi yang paling sinis, dan sikap ini adalah perilaku yang bisa dipelajari. Ironisnya, sinisme ini malah seringkali dianggap keren atau tanda kecerdasan. Padahal, sinisme itu bahaya lho, bisa bikin stres kronis, memperpendek usia, memecah belah masyarakat, sampai merusak hubungan sosial.

Tapi tenang, ada kok obatnya! Namanya adalah harapan. Bukan harapan yang sekadar optimis buta, tapi harapan yang ilmiah. Menurut Crystal Bryce, seorang profesor di The University of Texas at Tyler, harapan itu kemampuan yang bisa diukur. Ini adalah kemampuan kita untuk menetapkan tujuan, terus berusaha, dan menemukan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dulu, Bu Bryce meneliti bagaimana sih kita bisa menumbuhkan harapan, misalnya dengan punya guru yang peduli atau interaksi positif dengan teman. Ternyata, harapan itu sesuatu yang konkret dan bisa diajarkan, lho!

Jadi, harapan itu bukan cuma perasaan, tapi skill kognitif. Skill ini yang bantu kita mengenali jalan menuju tujuan. Dengan menggunakan skala bernama Snyder’s Adult Hope Scale, Bu Bryce dan timnya bisa mengukur dua hal penting: yang pertama adalah kemampuan berpikir tentang jalur (pathway thinking), yaitu bagaimana kita bisa bergerak dari titik A ke titik B. Yang kedua adalah kemampuan berpikir tentang agen (agency thinking), yaitu keyakinan seseorang pada kemampuannya sendiri untuk mencapai tujuan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa harapan yang tinggi itu berhubungan erat dengan prestasi akademik yang lebih baik, tingkat stres dan kecemasan yang lebih rendah, bahkan untuk mahasiswa, bisa meningkatkan angka kelulusan dari tahun pertama ke tahun kedua.

Nah, ada satu metode keren yang bisa dipakai di kelas untuk mengajarkan harapan, namanya WOOP. WOOP adalah singkatan dari Wish, Outcome, Obstacle, Plan. Metode ini dikembangkan oleh psikolog Gabriele Oettingen dan efektif banget buat membimbing siswa dalam menetapkan tujuan. Gampangnya, siswa pertama-tama menentukan "Wish" (keinginan atau tujuan) dan "Outcome" (hasil yang diinginkan). Bagian ini cukup jelas, tinggal tuliskan saja apa yang mau dicapai dan hasilnya seperti apa.

Yang paling penting dari metode WOOP ini justru di bagian "Obstacle" (hambatan) dan "Plan" (rencana). Dengan mengidentifikasi potensi hambatan di awal, siswa jadi bisa berpikir ke depan dan menyiapkan strategi cadangan. Ini seperti membangun jembatan tambahan agar tujuan tetap tercapai. Lalu, latihan membuat "Plan" akan membangun rasa percaya diri siswa, meningkatkan harapan mereka, dan menguatkan kemampuan mereka untuk beradaptasi saat menghadapi rintangan.

Sayangnya, harapan ini cenderung menurun seiring bertambahnya usia, terutama saat masa remaja. Anak-anak kecil usia 4 tahun itu jago banget punya harapan. Kalau mereka jatuh saat berusaha naik perosotan di taman bermain, mereka pasti bangkit lagi dan mencoba dengan cara lain. Tapi, seiring dewasa, mereka mulai meragukan diri sendiri. Bu Bryce menduga, ini bisa jadi karena sinisme yang mulai tumbuh di masa remaja awal atau berkurangnya dukungan dari lingkungan.

Penelitian Bu Bryce menunjukkan ada penurunan harapan yang signifikan pada remaja kelas delapan, dan ini terjadi di banyak negara. Belum ada jawaban pasti kenapa usia ini jadi titik penurunan, tapi kemungkinan karena kombinasi perubahan pubertas, perkembangan diri, dan masa transisi yang sulit antara kelas tujuh dan sembilan. Intinya, punya teman atau orang dewasa yang bisa jadi tempat berbagi dan penyemangat itu penting banget untuk melawan sinisme. Mereka bukan cuma mendengarkan keluh kesah, tapi juga akan bilang, "Yuk, terusin! Apa langkah selanjutnya?" Dengan begitu, kita bisa terus optimis melihat masa depan.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org