Reformasi Pendidikan: Kenapa Pesimisme deBoer Keliru?

Siswa-siswa beragam etnis belajar ceria di kelas modern, dengan grafik kemajuan dan ikon inovasi di latar belakang.

Pernah dengar anggapan kalau semua usaha reformasi pendidikan itu sia-sia? Nah, seorang penulis bernama Freddie deBoer cukup sering melontarkan ide ini, bahkan sampai bilang "nothing in education works". Menurutnya, pencapaian akademis itu sebagian besar sudah ditentukan oleh genetik, dan berbagai intervensi pendidikan cuma buang-buang waktu, bahkan tidak bisa menutup kesenjangan yang ada. Tapi, benarkah begitu?

Mari kita bedah satu per satu argumen pesimis ini. Pertama, soal genetik. Memang sih, kecerdasan itu punya komponen yang diturunkan, dan faktor genetik menyumbang banyak pada variasi prestasi individu. Namun, ini tidak berarti intervensi pendidikan pasti gagal. Coba bayangkan begini: obesitas atau tinggi badan juga sangat dipengaruhi genetik, tapi kenapa angka obesitas bisa naik tiga kali lipat di AS dan ada perbedaan tinggi badan antara Korea Utara dan Selatan yang sebenarnya punya genetik mirip? Jawabannya ada pada kebijakan pemerintah dan lingkungan sosial. Sama halnya dengan pendidikan, perbedaan prestasi antar kelompok itu lebih banyak dipengaruhi kebijakan dan kondisi sosial-ekonomi, bukan semata-mata genetik. Bahkan deBoer sendiri mengakui, kesenjangan prestasi antar kelompok ras di AS lebih banyak akibat faktor sosial, ekonomi, dan budaya.

Kedua, tentang kemampuan siswa untuk meraih kemajuan. DeBoer bilang intervensi efektif sekalipun tidak bisa mempersempit kesenjangan prestasi. Tapi, data menunjukkan hal sebaliknya! Di tahun 90-an dan awal 2000-an, ketika skor NAEP (ujian nasional AS) meningkat, kemajuan terbesar justru datang dari siswa berprestasi rendah. Ini membuktikan bahwa intervensi yang tepat, khususnya yang menargetkan siswa paling membutuhkan, bisa banget menutup kesenjangan. Contohnya, studi tentang sekolah charter di New York City yang berhasil menutup 86% kesenjangan prestasi matematika dan 66% kesenjangan membaca antara Harlem (area miskin) dan Scarsdale (area kaya). Kuncinya adalah menemukan intervensi yang tepat dan menargetkan mereka yang paling membutuhkan.

Ketiga, efek jangka panjang. DeBoer benar kalau dampak intervensi pada skor ujian seringkali meredup seiring waktu. Ini disebut 'fadeout'. Tapi, jangan salah sangka, ini bukan akhir segalanya. Reformasi pendidikan tidak hanya mengejar skor ujian, melainkan juga hasil jangka panjang seperti peluang masuk kuliah, partisipasi di pasar kerja, perilaku kriminal, dan kesehatan. Dan kabar baiknya, meskipun efek pada skor ujian bisa meredup, manfaat jangka panjang seringkali tetap ada. Program pendidikan anak usia dini, misalnya, mungkin tidak menunjukkan peningkatan skor ujian yang bertahan lama, tapi bisa berdampak positif pada kesehatan dan kemandirian di kemudian hari. Jadi, fokus kita harus lebih luas, tidak cuma terpaku pada skor ujian.

Tentu, kadang ada saja klaim deBoer yang terkesan menyimpang atau bahkan tidak akurat. Misalnya, ketika ada bukti keberhasilan di suatu daerah, ia sering menuding adanya kecurangan atau manipulasi data, tanpa bukti yang jelas. Padahal, banyak evaluasi independen justru menunjukkan kemajuan yang nyata, seperti reformasi pendidikan di Washington, D.C. atau New Orleans.

Intinya, tidak ada "keajaiban" instan dalam pendidikan. Tapi, bukan berarti kita harus pesimis dan menyerah. Kemajuan nyata dalam menutup kesenjangan prestasi itu sangat mungkin terjadi. Membutuhkan upaya yang sulit, bertahap, dan seringkali tidak populer secara politik, tapi harus dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun. Ini adalah pesan yang perlu kita dengar untuk benar-benar meningkatkan hasil akademis dan memberi kesempatan nyata bagi siswa yang paling kurang beruntung untuk masa depan yang lebih baik.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org