Strategi Jaga Mental Atlet Mahasiswa di Era Kompetitif Kampus

Seorang atlet mahasiswa sepak bola berjersey hijau berdiri dengan bola, simbol perjuangan mental di dunia olahraga kampus yang kompetitif.

Halo para calon atlet mahasiswa dan orang tua! Pernah dengar soal "National Signing Day" atau kontrak NIL yang nilainya fantastis?

Di era sekarang, menjadi atlet mahasiswa bukan cuma soal skill di lapangan, tapi juga tentang kemampuan mengelola tekanan yang luar biasa. Dengan adanya bonus tanda tangan enam atau tujuh digit, ditambah kontrak NIL yang memungkinkan atlet memonetisasi nama, citra, dan penampilan mereka, taruhannya jadi makin tinggi. Bukan cuma uang, tapi juga ekspektasi dan beban yang mengikutinya. Ini bisa bikin para atlet mahasiswa stres berat, apalagi mereka juga harus tetap fokus kuliah.

Sayangnya, di tengah gemuruh kompetisi ini, aspek penting seperti kesehatan mental seringkali terabaikan. Banyak studi menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental di kalangan atlet mahasiswa terus meningkat, bahkan kasus bunuh diri di antara mereka telah berlipat ganda dalam dua dekade terakhir. Perguruan tinggi dan NCAA memang sudah berupaya, tapi dukungan yang tersedia seringkali belum mencukupi.

Bayangkan saja, kurang dari 26 persen departemen atletik punya tenaga ahli kesehatan mental. Itu pun seringkali hanya satu atau dua orang untuk ratusan atlet! Ini tentu sangat jauh dari ideal, apalagi dengan tantangan baru seperti rumitnya kontrak NIL dan ketidakpastian transfer antar kampus yang bisa membuat atlet kehilangan beasiswa tanpa jaminan dari kampus lain. Tekanan akademik untuk menyeimbangkan jadwal latihan yang padat dengan kuliah juga jadi penyumbang utama stres.

Lalu, bagaimana nih? Penting banget bagi departemen atletik untuk meningkatkan pelatihan kesehatan mental bagi para pelatih. Selain itu, keluarga dan para atlet juga harus proaktif. Saat masa rekrutmen, jangan ragu bertanya tentang fasilitas dukungan kesehatan mental yang tersedia. Tanyakan berapa banyak psikolog atau konselor yang fokus menangani atlet, dan pastikan juga keberagaman latar belakang staf tersebut. Ini penting agar atlet merasa nyaman dan didengarkan.

Tanyakan juga seberapa sering atlet akan di-screening untuk masalah kesehatan mental, bagaimana pelatih dilatih dalam isu ini, dan prosedur penanganan krisis. Pastikan juga bagaimana informasi tentang sumber daya kesehatan mental dikomunikasikan. Intinya, pastikan bahwa budaya di departemen atletik mendukung kesehatan mental, bukan malah menstigmatisasinya.

Ingat, bonus dan kontrak NIL memang menggiurkan, tapi kesehatan mentalmu jauh lebih berharga. Kamu punya kekuatan untuk memilih kampus yang tak hanya menawarkan prestasi atletik dan akademik, tapi juga prioritas pada kesejahteraan mentalmu. Jangan ragu untuk mendiskusikan hal ini, karena investasi pada kesehatan mental adalah investasi terbaik untuk masa depanmu sebagai atlet dan individu.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org