Kesenjangan Gender STEM: Strategi Sekolah Mengatasinya

Siswa perempuan dan laki-laki dari berbagai etnis dengan antusias belajar sains, menggunakan model molekul dan peralatan lab di kelas.

Belakangan ini, ada kabar yang mungkin bikin kita sedikit mengernyitkan dahi: hasil asesmen nasional di Amerika Serikat menunjukkan bahwa nilai sains dan matematika siswa perempuan kembali tertinggal dari siswa laki-laki. Tren ini, yang sebenarnya sempat menunjukkan perbaikan di tahun-tahun sebelumnya, kini muncul lagi. Tapi, jangan buru-buru menyimpulkan, karena masalah ini ternyata lebih kompleks dari yang terlihat, dan bahkan juga terjadi di negara-negara lain seperti Kanada, Prancis, dan Spanyol. Mari kita bedah lebih lanjut dan cari tahu apa yang bisa kita lakukan.

Mengapa Kesenjangan Gender di STEM Muncul Lagi?

Penting untuk diingat bahwa kesenjangan ini bukan sekadar masalah gender semata. Peneliti seperti Christy Hovanetz dari ExcelinEd menyoroti bahwa di beberapa negara bagian Amerika, kesenjangan ini justru tipis atau bahkan siswa perempuan unggul dalam matematika kelas delapan. Lucunya lagi, penutupan kesenjangan di masa lalu seringkali didorong oleh penurunan performa siswa laki-laki. Artinya, bukan berarti siswa perempuan jadi sangat jago, melainkan performa kedua gender sama-sama menurun, hanya saja penurunan siswa perempuan lebih cepat di asesmen terbaru untuk sains. Faktor lain yang tak kalah penting adalah latar belakang ras dan ekonomi. Penelitian dari Sean Reardon di Stanford University menunjukkan bahwa di distrik kaya dengan mayoritas kulit putih, siswa laki-laki cenderung lebih baik di matematika dibanding siswa perempuan. Namun, di distrik yang beragam secara ras dan berpenghasilan rendah, justru siswa perempuan yang seringkali menunjukkan performa lebih baik. Jadi, kesenjangan ini ibarat puzzle dengan banyak kepingan, tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja.

Strategi Efektif Mengatasi Kesenjangan Ini

Lantas, apa yang bisa sekolah lakukan? Hovanetz menyarankan beberapa strategi. Pertama, identifikasi dini kekurangan belajar dan berikan dukungan individual yang sesuai, terutama di mata pelajaran matematika. Organisasinya mengusulkan adopsi kebijakan matematika yang komprehensif dari TK sampai kelas 8, sebelum siswa masuk ke materi aljabar yang seringkali jadi ‘titik kritis’. Kedua, penting untuk memiliki inisiatif pendidikan yang inklusif untuk semua gender. Meskipun ada program spesifik untuk perempuan seperti "Black Girls Love Math" yang terbukti efektif, solusi di tingkat yang lebih luas harus bisa merangkul baik laki-laki maupun perempuan. Alicia Conerly, seorang koordinator program federal di Mississippi dan mantan presiden National Science Teaching Association, menambahkan beberapa poin krusial. Ia percaya bahwa peningkatan performa siswa perempuan di STEM sebelumnya disebabkan oleh peningkatan paparan dini terhadap konsep sains dan matematika, serta penekanan budaya pada STEM yang menunjukkan gambaran karir yang lebih jelas. Paparan awal ini, khususnya untuk siswa TK hingga kelas 4 di sekolah pedesaan, sangatlah penting. Program ekstrakurikuler seperti "Girls Who Code" dan "National Science Honor Society" juga terbukti membantu meningkatkan minat dan paparan siswa terhadap sains. Selain itu, perubahan kurikulum juga memainkan peran besar. Mengintegrasikan sains ke dalam mata pelajaran lain, misalnya menemukan kurikulum Bahasa Inggris yang berkualitas dan menyisipkan materi sains di dalamnya, bisa membuat siswa lebih memahami nilai dari mata pelajaran ini.

Tantangan dan Harapan di Tengah Keterbatasan

Sayangnya, banyak inisiatif bagus ini didukung oleh dana bantuan pandemi yang kini sudah berakhir. Ini menjadi tantangan besar bagi sekolah yang kini menghadapi kekurangan guru, penurunan anggaran, dan perdebatan politik tentang pendidikan publik. Kendala ini tentu saja membuat upaya membalikkan tren penurunan performa ini semakin sulit. Meskipun situasinya tampak kompleks dan penuh tantangan, bukan berarti kita harus putus asa. Dengan memahami berbagai faktor yang berkontribusi pada kesenjangan ini dan menerapkan strategi yang tepat—mulai dari identifikasi dini, dukungan individual, kurikulum inovatif, hingga program ekstrakurikuler—kita bisa berharap untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan efektif bagi semua siswa, baik perempuan maupun laki-laki, untuk unggul di bidang sains dan matematika.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org