Awe: Rahasia Pengembangan Diri dan Motivasi Belajar Anak

Ilustrasi seorang anak yang terinspirasi oleh keajaiban alam, menunjukkan rasa ingin tahu dan kegembiraan dalam proses belajar dan penemuan.

Pernahkah Anda merasa terpukau, seolah dunia berhenti sejenak karena suatu pemandangan atau pengalaman yang luar biasa? Itulah yang disebut 'awe' atau keajaiban. Emosi yang satu ini mungkin sering terlewat, namun ternyata memiliki peran dahsyat dalam proses belajar dan perkembangan diri, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa.

Menurut Deborah Farmer Kris, seorang ahli perkembangan anak dan pendidik, 'awe' adalah perasaan yang muncul saat kita menemukan sesuatu yang luas, indah, dan melampaui batas pemahaman biasa kita. Tandanya bisa beragam, mulai dari merinding, mata berbinar lebar, hingga spontan berkata "wow!". Emosi ini, yang merupakan turunan dari rasa terkejut, sangat penting karena mendukung rasa ingin tahu, perkembangan kognitif, kesehatan mental dan emosional, serta koneksi kita dengan dunia.

Dalam dunia pendidikan, 'awe' bisa jadi kunci motivasi belajar. Saat anak merasakan keajaiban, rasa ingin tahu mereka terpacu. Dan kita tahu, rasa ingin tahu adalah indikator kuat keberhasilan akademik karena memicu motivasi internal. Ketika kita penasaran, otak kita lebih siap untuk menerima dan mengingat informasi. Bayangkan saja anak empat tahun yang hafal nama dinosaurus super panjang karena rasa ingin tahununya yang tinggi! Oleh karena itu, menciptakan momen 'awe' di awal pelajaran bisa jadi trik jitu untuk 'memanaskan' otak siswa agar lebih siap menyerap materi.

Lalu, bagaimana kita bisa menumbuhkan 'awe' dalam keseharian? Sebenarnya tidak perlu ke tempat yang eksotis. Keajaiban bisa ditemukan di sekitar kita. Kuncinya adalah memberi ruang. Coba lakukan "awe walk" selama 5-10 menit tanpa gangguan gawai. Perhatikan langit, pohon, atau suara burung. Anda akan terkejut betapa banyak hal baru yang bisa Anda sadari di lingkungan sekitar.

Sebagai orang tua, ajaklah anak Anda berbagi momen 'awe'. Apakah itu melihat pelangi ganda yang indah, mendengar kisah seseorang yang berani, atau sekadar mengamati semut berbaris. Berbagi momen-momen kecil ini secara otentik akan mendorong anak untuk juga menceritakan keajaiban yang mereka temukan. Ini juga cara untuk memperkuat ikatan keluarga dan lebih menyadari hal-hal positif di tengah hiruk pikuk kehidupan.

Untuk para pendidik, 'awe' di kelas bisa tetap hidup meskipun mengajarkan materi yang sama berulang kali. Caranya? Fokus pada reaksi siswa. Melihat mata mereka berbinar saat pertama kali memahami konsep yang sulit atau terlarut dalam sebuah cerita, itulah 'awe' bagi seorang guru. Mengadaptasi saran Dacher Keltner dari UC Berkeley, kita bisa menciptakan 'awe' dengan memberikan waktu tanpa struktur, membiarkan mereka "mengembara" dalam pemikiran, dan memberi ruang untuk misteri serta pertanyaan terbuka, alih-alih hanya jawaban yang serba pasti.

'Awe' juga berkembang berbeda di setiap usia. Anak usia prasekolah terdorong oleh pertanyaan "mengapa?". Remaja mencari "collective effervescence" atau kebersamaan dalam kelompok untuk mencapai tujuan bersama, seperti di tim olahraga atau klub. Namun, sumber 'awe' seperti alam, seni, dan musik selalu tersedia untuk semua umur. Keajaiban membantu kita melihat gambaran besar, meredakan kecemasan diri yang "kecil", dan menyadari bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Penelitian bahkan menunjukkan bahwa orang yang terpapar keindahan alam cenderung lebih dermawan dan ingin membantu sesama. Ini karena 'awe' diyakini berevolusi untuk memperkuat koneksi sosial dan mengikat komunitas. Jadi, dengan menumbuhkan 'awe', kita tidak hanya membantu diri sendiri dan anak-anak berkembang, tetapi juga berkontribusi menciptakan dunia yang lebih terhubung dan penuh kebaikan.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org