Sekolah Hadapi Badai Hukum Terkait Kebijakan DEI
Halo para pengelola sekolah dan pegiat pendidikan! Pernahkah kamu merasa bingung dengan berbagai aturan dan kebijakan yang berubah begitu cepat? Nah, belakangan ini, banyak distrik sekolah di Amerika Serikat sedang pusing tujuh keliling menghadapi kebingungan seputar kebijakan Keragaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI). Perubahan arah kebijakan, tuntutan hukum, hingga ancaman pemotongan dana federal membuat mereka harus putar otak berkali-kali.
Bayangkan saja, ada surat dari Departemen Pendidikan yang meminta sekolah menyatakan kepatuhan terhadap undang-undang tertentu agar bisa menerima dana federal Title VI. Dalam sekejap, dua distrik sekolah, City Schools of Decatur di Georgia dan Haldane Central School District di New York, langsung mengubah kebijakan DEI mereka. Decatur membatalkan dua kebijakan terkait kesetaraan, sementara Haldane menangguhkan kebijakan DEI mereka yang luas, yang bertujuan untuk memajukan pengajaran dan pembelajaran yang inklusif. Alasannya sederhana: mereka takut kehilangan dana.
Tapi, tak lama kemudian, muncul putusan dari pengadilan federal yang menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa menahan dana federal hanya karena alasan tersebut. Sontak, kedua distrik ini buru-buru mengembalikan lagi kebijakan DEI yang sempat dihapus. Ray Li, seorang penasihat kebijakan ekuitas pendidikan, menegaskan bahwa kebijakan DEI, kelompok afinitas, dan kurikulum yang inklusif secara rasial itu tidak pernah ilegal kok untuk sekolah.
Sebenarnya, apa sih DEI itu? Carlos Hoyt, seorang pelatih DEI, menjelaskan bahwa DEI itu bukan pilihan "ada atau tidak ada". Bahkan, kebijakan yang dirasa membatasi pun bisa jadi bentuk DEI. DEI yang lebih luas dan inklusif adalah yang diharapkan. Jadi, intinya, semua orang pasti setuju dengan konsep DEI, hanya saja pendekatannya yang bisa berbeda-beda.
Situasi ini memang bikin pusing, apalagi jika menyangkut dana. Misalnya, Distrik Decatur yang punya 10 sekolah dan 5.500 siswa itu mengandalkan sekitar 3,2 juta dolar AS dana federal, kebanyakan untuk pendidikan khusus. Wajar jika mereka khawatir. Tapi, setelah putusan pengadilan keluar, mereka segera mengembalikan semua kebijakan DEI-nya. Ini menunjukkan betapa cepatnya perubahan dan ketidakpastian yang dihadapi.
Tak cuma itu, ada juga "Dear Colleague letter" dari Departemen Pendidikan yang sempat membuat heboh, meminta institusi pendidikan mematuhi undang-undang hak sipil dalam 14 hari. Surat ini bahkan menyebut diskriminasi terhadap siswa kulit putih dan Asia. Tapi lagi-lagi, seorang hakim federal membatalkan pelaksanaannya. Ini membuktikan bahwa perintah departemen saja tidak serta-merta bisa mengubah hukum yang ada.
Gubernur Massachusetts dan Jaksa Agungnya justru buru-buru mengeluarkan panduan bersama yang menegaskan komitmen mereka terhadap akses pendidikan yang setara, dan mendorong institusi pendidikan untuk terus mengembangkan keragaman, kesetaraan, inklusi, dan aksesibilitas. Ini menunjukkan ada perbedaan pandangan di tingkat regional.
Sampai hari ini, perdebatan dan ketidakpastian seputar kebijakan DEI masih terus berlangsung. Ini seperti "pertanyaan hukum terbuka" yang terus diuji di pengadilan. Meski demikian, banyak pegiat pendidikan seperti Carlos Hoyt tetap yakin bahwa 'pekerjaan' DEI harus terus berjalan karena pentingnya untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik bagi semua siswa. Jadi, para pengelola sekolah perlu terus memantau perkembangan hukum dan tetap fokus pada misi utama pendidikan: menciptakan kesetaraan dan inklusi bagi setiap anak.