Hak Pendidikan: Akuntabilitas dan Tantangannya di Era Modern
Pendidikan itu ibarat fondasi penting yang menopang masa depan kita, dan hak untuk mendapatkannya sudah menjadi janji global sejak lama. Tanggal 10 Desember kemarin, kita merayakan Hari Hak Asasi Manusia sekaligus 65 tahun Konvensi Anti Diskriminasi dalam Pendidikan tahun 1960. Simposium Internasional tentang Masa Depan Hak atas Pendidikan menjadi wadah penting untuk membahas bagaimana hak ini perlu ditinjau ulang di tengah perubahan dunia yang serba cepat.
Kita patut berterima kasih kepada para pejuang intelektual dan politik yang telah mewariskan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang kita nikmati hari ini. Pendekatan UNESCO yang melihat pendidikan sebagai prinsip, bukan sekadar operasi, makin relevan. Setiap kali kita diminta untuk menafsirkan kembali hak atas pendidikan secara kontemporer, rasanya ada tanggung jawab besar untuk membahasnya dengan sungguh-sungguh, apalagi di zaman sekarang yang penuh tantangan dalam isu hak asasi.
Nah, para ahli hukum dan sosiolog punya andil besar dalam mengembangkan konsep hak atas pendidikan ini. Tapi jangan salah, para ekonom dan ilmuwan sosial yang bekerja dengan data juga punya peran vital. Amartya Sen, seorang ekonom, bahkan memberi pembelaan paling kuat untuk hak ini sebagai sebuah 'kapabilitas'. Global Education Monitoring Report (GEM Report) juga memegang peran kunci dalam memantau kemajuan pemenuhan hak atas pendidikan.
Mungkin dulu data atau pemantauan jarang disebut dalam Deklarasi Universal atau Kovenan Internasional terkait hak pendidikan. Tapi kini, berkat upaya tim GEM Report dan independensi editorial UNESCO, Dewan Hak Asasi Manusia PBB bahkan mengadopsi Resolusi 9 pada Juni 2025 yang mengakui pentingnya data dan pemantauan dalam mewujudkan hak ini. Jadi, para ahli statistik pun sekarang punya tempat terhormat sebagai pembela hak atas pendidikan!
Resolusi tersebut memang fokus pada pemantauan bagi pemangku kepentingan nasional, tapi peran lembaga internasional seperti GEM Report juga penting. Dari sudut pandang global, kami bisa memberikan perspektif yang membantu semua pihak merefleksikan pencapaian masa lalu, kekurangan saat ini, dan tantangan di masa depan. Misalnya, kami prihatin bahwa 272 juta anak masih tidak bersekolah, bahkan bisa lebih dari 285 juta jika kita hitung negara-negara konflik. Namun, kita juga melihat lebih dari 100 juta anak dan remaja berhasil masuk sekolah sejak 2015. Apakah itu sudah cukup?
Seringkali kita lupa, dari 1,6 miliar anak usia sekolah, sekitar 1,1 miliar tidak menyelesaikan sekolah menengah atau lulus tapi belum mencapai tingkat kemahiran minimum dalam membaca dan matematika. Padahal, teks tentang hak pendidikan juga berbicara tentang kualitas dalam hal infrastruktur, pendanaan, dan konten, bukan hanya hasil akhirnya. Ini menjadi perhatian kami dalam seri SDG 4 Scorecard.
Kita tahu, setiap dana tambahan, jika dibelanjakan dengan baik, akan meningkatkan pendidikan. Tapi apa yang paling penting dalam pendidikan belum tentu bisa diukur dengan uang. Bahkan, prioritas anggaran publik untuk pendidikan telah menurun 6% sejak 2015. Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas hal ini?
Saat membahas masa depan hak pendidikan dan ancaman terbesarnya, kita tidak hanya bicara soal pelanggaran terang-terangan di zona perang. Ada juga risiko yang kurang terlihat, seperti tantangan terhadap kebebasan berpikir, berekspresi, martabat, dan keadilan yang sangat terkait dengan pendidikan. Contohnya:
- Kita sudah sangat paham ilmu lingkungan, tapi sepertinya makin jauh dari mengubah perilaku demi generasi mendatang.
- Sulit sekali sepakat apakah kurikulum sudah berkontribusi pada pemahaman internasional dan bertindak sesuai itu.
- Ada dorongan agar kaum muda mengembangkan keterampilan digital, padahal yang paling penting adalah kemampuan membaca yang baik agar bisa menjelajahi dunia digital.
- Teknologi digital, termasuk aplikasinya dalam pendidikan, justru menurunkan rentang perhatian dan keterampilan kognitif di negara-negara kaya.
- Bahkan, teknologi ini berisiko mengubah pendidikan dari upaya sosial menjadi individualistis, yang mana bisa berdampak negatif jika digeneralisasi.
Permasalahan ini memang kompleks, dan kita harus berhati-hati. Jelas sekali bahwa hak atas pendidikan sedang diuji, baik di zona perang maupun dalam berbagai cara yang tak terlihat. Data telah membantu membangun kasus ini. Namun, yang belum berhasil kita lakukan adalah menetapkan tanggung jawab secara adil atas pelanggaran ini dan memutuskan langkah-langkah untuk memperbaikinya. Tanpa itu, tujuan mulia dari hak atas pendidikan hanya akan jadi janji kosong belaka.