Mengatasi Apatisme Siswa: Kekuatan Aksi Kolektif di Sekolah

Siswa berkolaborasi menyusun strategi aksi komunitas, memadukan semangat belajar dan perubahan sosial di lingkungan sekolah.

Akhir-akhir ini, kita sering melihat siswa menunjukkan sikap acuh tak acuh dan kurangnya minat terhadap isu-isu penting di sekitar mereka, baik di tingkat lokal maupun global. Banyak siswa cenderung lebih fokus pada bagaimana "membuat uang" atau mendapatkan "kekuasaan," tanpa menyadari bahwa kesempatan nyata bagi kelompok yang termarjinalkan justru datang dari kebersamaan dan perjuangan kolektif. Individualisme ini, meskipun bisa dimaklumi di tengah tekanan hidup, sebenarnya justru menjauhkan mereka dari solusi.

Padahal, secara historis, perubahan dan akses terhadap sumber daya bagi mereka yang kurang beruntung selalu lahir dari gotong royong dan aksi bersama. Namun, sistem pendidikan kita saat ini seolah belum sepenuhnya memfasilitasi kesempatan bagi siswa untuk berserikat dan membangun komunitas yang kuat. Meskipun kita sudah dibekali dengan berbagai strategi mengajar modern seperti penilaian berbasis ekuitas, pengajaran responsif budaya, atau desain universal untuk pembelajaran, praktik-praktik ini seringkali masih terasa belum cukup untuk menggerakkan siswa secara mendalam.

Kondisi politik yang semakin terpolarisasi dan tekanan hidup yang meningkat membuat banyak orang, termasuk para pendidik, semakin fokus pada diri sendiri hanya untuk bertahan. Bayangkan, jika pendidik saja merasakan hal ini, siswa kita pasti merasakannya berkali-kali lipat. Mereka datang ke sekolah, duduk, dan menerima informasi yang katanya akan membebaskan pikiran, namun ketika mereka pulang, kondisi di lingkungan mereka tetap sama. Model sekolah "pabrik" tradisional sepertinya sudah usang dan suatu hari nanti akan runtuh jika tidak bertransformasi.

Lalu, bagaimana kita bisa menciptakan pengalaman pendidikan yang menumbuhkan empati dan mendorong aksi nyata? Ada beberapa ide menarik yang patut kita pertimbangkan:

Pertama, libatkan organisasi berbasis komunitas. Bayangkan jika organisasi yang fokus pada pemberdayaan siswa dalam berorganisasi di luar jam sekolah, kini diundang secara rutin ke kelas untuk memimpin lokakarya. Tujuannya adalah agar siswa bisa terlibat langsung dalam demonstrasi, protes, atau kegiatan sukarela sebagai bagian dari pembelajaran. Ini harus dilakukan selama jam sekolah, karena siswa dari keluarga pekerja seringkali memiliki banyak tanggung jawab setelah pulang sekolah.

Kedua, terapkan pembelajaran berbasis proyek yang berfokus pada pengorganisasian. Siswa bisa memilih isu yang mereka pedulikan, lalu kita ajarkan mereka cara menggalang dukungan, melakukan survei, mewawancarai pihak-pihak terkait, dan menyusun rencana aksi. Penilaiannya bukan hanya dari hasil akhir, melainkan dari keberhasilan proses mereka dalam mengatasi isu sosial secara nyata, bukan hanya sekadar membaca teorinya.

Ketiga, implementasikan praktik di seluruh sekolah. Bagaimana jika setiap tahun, siswa diharapkan untuk berorganisasi dalam beberapa kapasitas dan membuat refleksi yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana empati mereka meningkat melalui kegiatan tersebut? Sekolah bisa bertransformasi menjadi pusat pemikiran dan aksi revolusioner yang berlangsung selama jam sekolah.

Terakhir, perbarui persiapan guru. Program pendidikan guru harus diubah agar para guru tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi juga terlatih bagaimana berorganisasi dan mengajarkannya. Jika sekolah tidak menjadi tempat perlawanan, sulit membayangkan generasi muda akan melihat sekolah sebagai lebih dari sekadar rutinitas. Mereka perlu diajarkan kekuatan mereka melalui aksi kolektif, agar tidak terjebak dalam individualisme yang merugikan.

Memang, buku bisa membebaskan pikiran kita, tetapi tidak serta-merta mengubah kondisi hidup. Nenek moyang kita sudah menunjukkan bahwa struktur yang ada seringkali tidak dibangun untuk kelompok yang paling termarjinalkan, dan karena itu mereka berorganisasi. Mereka melihat sesama sebagai sumber daya untuk meraih kebebasan, dan seringkali, itu terjadi di luar tembok kelas. Kita tidak bisa hanya membaca tentang aksi revolusioner; kita harus menjadi bagian darinya, dengan menciptakan kesempatan terstruktur untuk melangkah keluar dari empat dinding kelas kita.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
sr7themes.eu.org